Seberapa sering anda makan pecel lele atau pecel ayam kaki lima dengan kol goreng? Saya sering sekali.
Sore tadi selepas kelas
Sosiologi Hukum, saat sedang nikmat-nikmatnya memamah nasi lele bakar dengan
atribut kol goreng, saya terlonjak karena merasa telah berhasil membuat suatu
tesis yang tampaknya cukup revolusioner dan mencengangkan. Ternyata,
jejak-jejak pemikiran posmo dapat ditemukan bukan di gedung-gedung
berarsitektur aneh yang patah-patah dan bengkok-bengkok
(yang sering disebut seni-zaman-baru itu), bukan pula di Galaksi Simulacra,
buku kumpulan esai Jean Baudrillard
yang, Masya Allah, membaca esai pertamanya saja sudah bikin jalinan neuron saya
retak-retak. Manusia nusantara menemukan realitas posmo di atas meja makan;
dalam konteks saya, realitas posmo itu adalah kol goreng. Bahkan, kalau kol
goreng bisa berpikir dan membaca buku, saya lumayan yakin bahwa ia akan kuliah
filsafat dan mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Derridean. Sebelum
sidang pembaca meninggalkan tulisan ini, saya mau tekankan satu hal: tenang
saja, saya bukan Foucault,
bukan pula Lyotard,
diameter sumsum otak saya yang minimalis juga termehek-mehek membaca teori
mereka. Tulisan ini tidak sulit.
Derrida adalah salah
satu pemikir penting posmo yang terkenal dengan metode dekonstruksinya. Apa itu
dekonstruksi? Akhyar Yusuf Lubis menyebut dalam Postmodernisme: Teori dan Metode, bahwa “dekonstruksi adalah
strategi yang digunakan untuk mengguncang kategori-kategori dan asumsi-asumsi
dasar di mana pemikiran kita ditegakkan”. Dijelaskan pula bahwa dekonstruksi
“menggunakan hermeneutika kecurigaan, dengan mencurigai klaim-klaim kebenaran
yang dikemukakan ilmuwan yang ditemukan dalam teks”. Anda paham? Saya pun tak
terlalu paham.
Tapi ringkasnya kalau saya coba jelaskan dekonstruksi ini menurut versi saya (yang mungkin sekali kurang tepat), dapatlah saya bilang bahwa dekontstruksi adalah metode untuk menggoyang dan mempertanyakan kembali esensi dan muatan teks yang dianggap sudah-benar-dari-sananya. Kalau mengutip Peter Barry, dekonstruksi adalah “membaca teks dengan melawan teks itu sendiri”. Teks ini juga tidak terbatas pada teks dalam bentuk tertulis yang selama ini kita kenal. Apapun adalah teks apabila dapat dilakukan upaya pemaknaan terhadap hal tersebut. Bangunan teorinya cukup begini saja untuk menerangkan analisis tak penting saya.
***
Saya adalah pengagum
berat pecel lele. Meskipun rupanya jelek (legam, licin, berkumis… hiii), dalam
seminggu, setidaknya sekali dua kali saya pasti makan pecel lele (juga varian
lainnya, lele bakar). Anehnya, pecel lele yang saya rasa enak hanyalah pecel
lele yang dijual di kaki lima. Ibu beberapa kali bikin pecel lele di rumah,
namun (maafkan saya, Ma) tak pernah seenak pecel lele kaki lima. Pecel lele
bikinan ibu jauh lebih higienis, pasti. Sungut lelenya sudah dibuang dan isi
perutnya juga dibersihkan secara passionate.
Bumbunya pun tidak memakai MSG, pokoknya sudah memenuhi kriteria makanan
rumahan sehat menurut Gordon Ramsay. Namun ternyata, untuk menjadi pecel lele
yang enak dan dahsyat, seekor lele tak harus diberi treatment se-terhormat treatment
yang ibu berikan kepada lele-lelenya itu. Lihat saja lele-lele di kaki lima.
Sungutnya tiada dipotong, isi perutnya belum tentu bersih sempurna. MSG? Duh,
jangan ditanya. Pula, entah bumbu rempah
apa yang dibenamkan abang-abang pecel lele itu dalam adonannya. “Adonan” dalam
kultur per-pecellele-an harus dimaknai secara limitatif sebagai jerigen berisi
air keruh berwarna kekuningan (yang diaduk di dalamnya resep rahasia sang masterchef pecel lele) tempat
mendiang-mendiang lele berenang-renang. Tidak boleh dimaknai lain. Siapa kira,
kombinasi sungut-tak-terpotong, perut-tak-bersih, dan adonan-tidak-humanis itu
justru menghasilkan pecel lele-pecel lele dengan rasa paling mumpuni sejagat
raya.
Hidangan pecel lele
(atau pecel ayam) seyogyanya didampingi dengan dua atau tiga jenis sayur
lalapan. Lalapan standar biasanya adalah timun dan kol, kadang ditambah kemangi
kalau tukang jualannya memiliki kedermawanan dan kapital berlebih. Asumsi
dasarnya adalah, kol dan timun itu dijadikan pelengkap lele untuk menetralisir
racun minyak yang becek di lele itu. Harapannya, disamping menelan lele yang
digoreng dengan minyak jelantah yang entah pernah diganti atau tidak, timun dan
kol itu muncul sebagai penyelamat yang akan mengurangi racun pada si lele.
“Nih, saya kasih kol sama timun, biar kamu gak sakit-sakit amat” mungkin begitu
yang ada di pikiran tukang jualannya. Tapi, kol hanya dapat melaksanakan tugas
mulia-nan-menyehatkan itu apabila ia hadir dalam bentuk segar, yang tidak digoreng.
***
Kemudian, apa hubungan
kol goreng yang berwarna coklat, sederhana nan layu dengan skema besar
pemikiran Derrida itu? Nah, dari sinilah tesis saya lahir. Kol goreng adalah
bentuk nyata dekontruksi Derrida, sebab ia berhasil menghancurkan makna
asalinya (sebagai sebuah kol yang berbudi luhur) lalu menciptakan makna baru
yang betul-betul jauh dari makna awalnya. Setiap kol goreng adalah kol
eksistensialis yang menemukan jalan hidupnya sendiri, meski jalan hidup itu
membuat keluarga besar kol sedih karena kol goreng dianggap telah hilang arah
dan kehilangan jati diri ke-kol-annya.
Ketika ia jadi kol
goreng, maka hancurlah sudah konstruksi kebenaran universal yang terandai-andai
dalam kombinasi pecel lele-dan-timun-serta-kol-segar itu. Alih-alih
menyegarkan, ia malah mengikuti kompatriotnya, si lele itu. Digoreng di minyak
dan wajan yang sama pula. Sayuran yang menyehatkan – namun – digoreng (dengan
minyak jelantah super!), oh, dapatkah anda bayangkan bahwa kol goreng adalah
dekonstruksi itu sendiri? Pergi ke mana makna menyehatkan yang alamiah
dikandung oleh si kol? Sungguh, asumsi kebenaran universal telah patah remuk
jungkir balik di hadapan kol goreng yang seorang Derridean itu.
Maka, ketika lain kali anda
makan pecel lele dengan kol goreng, meski anda tahu tak ada lagi harapan
menjadi sehat pada makanan yang terhidang di hadapan anda, janganlah begitu
jumawa. Di depan anda, pada diri kol goreng itu, anda sedang melihat realitas
posmo yang terlalu nyata.
Online Gaming - JTM Hub
ReplyDeleteGambling in and of itself is fun, but you're only halfway there for the casino. 삼척 출장마사지 Gambling is not the same 문경 출장안마 as gambling in 영주 출장샵 Vegas, and you need 영천 출장샵 to be careful 경상북도 출장안마