Kurang lebih satu dua tahun
belakangan, saya seringkali melihat diri saya sebagai seorang feminis laki-laki
karbitan yang bahkan belum membaca The Second Sex-nya Simone de Beauvoir atau
Feminist Thought-nya Rosemarie Tong. Sejujurnya saya selalu was-was dan tak
berani untuk menyebut diri saya seorang feminis, karena belum tentu kualitas
diri saya memenuhi syarat-syarat untuk-menjadi-seorang-feminis seperti yang dibikin saklek oleh beberapa orang (seakan-akan feminisme adalah paham yang eksklusif). Definisi feminis (kalau memang ia butuh definisi) yang saya
pahami tak sulit dan rumit: adalah orang yang mendukung perjuangan kesetaraan
dan keadilan gender antara perempuan dan laki-laki.
Feminisme, sebagai salah
satu bentuk teori kritis, mengandung dimensi praksis. Maksudnya, feminisme akan
mati dan tak ada gunanya kalau hanya hidup di teks-teks ilmu pengetahuan yang
tak diterapkan. Feminisme mengandung dimensi perlawanan yang terang; ia anti
penindasan dan dominasi patriarki. Untuk melahirkan sosietas dengan relasi gender
yang adil dan setara, feminisme adalah kancah untuk bergerak; ia tak ingin
dirinya hanya jadi deretan narasi yang melulu berisikan air mata, keringat,
ludah, dan darah perempuan. Lebih dari itu, feminisme ingin agar air mata,
keringat, ludah, dan darah perempuan itu tak tumpah sia-sia. Ia ingin tumpahan
itu tak lagi ada dan semua manusia dapat hidup bersama dengan harmonis dan
setara.
Sampai hari ini, saya merasa belum banyak buku tentang feminisme yang saya baca. Pengetahuan awal saya tentang feminisme banyak saya gali
dari tulisan-tulisan di Jurnal Perempuan serta beberapa artikel di media online. Saya masih berencana membaca The
Second Sex dan Feminist Thought memang, mungkin akan saya cetak buku elektroniknya
setelah menamatkan beberapa buku yang tak kelar-kelar. Lalu, jika bukan dari buku
teks yang teoritikal-komprehensif, lantas darimana saya belajar tentang
feminisme? Menjawab sendiri pertanyaan ini, agaknya saya belajar feminisme (sangat
banyak) dari praksis advokasi dan kehidupan sehari-hari.
Sekira 2013 akhir atau awal 2014
menjadi titik awal keseriusan saya untuk lebih mengenal masalah-masalah relasi
gender yang akhirnya membawa saya pada feminisme. Kala itu saya bersama beberapa
orang teman mengadvokasikan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sitok
Srengenge. Selama advokasi ini, saya belajar banyak sekali tentang posisi
perempuan di hadapan hukum yang beku akan perspektif gender. Saya juga belajar
tentang trauma dan luka psikologis yang dialami perempuan korban kekerasan. Pengalaman
tersebut dilanjutkan dengan pengalaman mendampingi sebuah panitia acara simposium
tingkat nasional di fakultas saya, yang kala itu menjadikan kekerasan seksual
sebagai tema acaranya. Wawasan saya makin luas, Saya jadi kenal konsep-konsep
seperti hak atas tubuh, hubungan seksual tidak konsensual, victim blaming, misalnya. Lebih dari itu, tema kekerasan seksual
yang merupakan bagian dari masalah penindasan perempuan secara luas juga
membantu saya untuk memahami lebih jauh tentang patriarki, falosentri, subordinasi,
dominasi, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman ini sangat mencerahkan bagi
saya sendiri.
Semester ini, saya meneruskan pembelajaran dan praksis advokasi itu dengan mengikuti Klinik Hukum Perempuan dan Anak yang ada di fakultas saya. Sebuah kesempatan baik buat saya untuk belajar lebih banyak dan menerapkan apa yang telah saya pelajari sebelumnya.
Semester ini, saya meneruskan pembelajaran dan praksis advokasi itu dengan mengikuti Klinik Hukum Perempuan dan Anak yang ada di fakultas saya. Sebuah kesempatan baik buat saya untuk belajar lebih banyak dan menerapkan apa yang telah saya pelajari sebelumnya.
***
Sialnya, karena saya terlahir
sebagai laki-laki, maka otomatis peran, identitas, dan mitos yang ditanamkan
budaya patriarki pada saya belum sepenuhnya hilang. Meski saya ingin melatih
diri saya menjadi seorang feminis laki-laki yang adil, ternyata mantra misogini
masih meninggalkan sedikit jejaknya pada otak saya. Tak banyak memang,
syukurlah. Namun ketika pemikiran sok superior itu terasa akan muncul, saya
selalu mencoba sekuat hati untuk mendekonstruksi pemikiran itu agar tak sampai
mewujud. Praksis feminis bagi laki-laki yang berupaya untuk berkesadaran gender
adalah tantangan yang sangat jelas; ia harus selalu siap mengalahkan potensi-potensi lahirnya
pikiran dan laku misogini yang ada pada dirinya. Praksis ini harus terus dijalankan hingga doktrin misogini itu hilang sepenuhnya.
Agar tak jadi feminis karbitan, tak hanya menerapkannya pada praksis advokasi, saya
juga coba terapkan kesetaraan dan keadilan gender itu dalam keseharian saya. Pada taraf
yang mikro, saya coba melakukan pekerjaan publik dan domestik di keluarga. Membantu
ibu membersihkan rumah dan menyiapkan makanan rupanya tak sulit dan jelas
pekerjaan-pekerjaan itu tak hanya urusan perempuan. Saya juga berusaha
membangun relasi yang adil, setara, dan koordinatif dengan pacar saya. Begitupun
cara saya memandang perempuan telah banyak berubah; sekarang saya (selalu berupaya keras untuk) tak melihat perempuan sebagai obyek. Ini semua saya lakukan tak lain karena saya yakin bahwa perempuan bukan atribut laki-laki, bukan subjek yang bilur dan retak; perempuan sepenuhnya adalah subjek yang penuh.
Saya rasa, ini perubahan-perubahan
yang baik, bukan hanya untuk diri saya saja, namun juga untuk orang lain. Baik pula
karena saya jadi paham, bahwa untuk menjadi laki-laki yang memandang perempuan
sebagai subjek penuh yang sama setara dengan dirinya - meski harus dipraksiskan setiap hari dan terkadang menemui tantangan dari dalam diri sendiri -
ternyata tak terlalu rumit dan dapat diupayakan.
*gambar diambil dari http://depression-guide.com/image/good-relationship.jpg.
*gambar diambil dari http://depression-guide.com/image/good-relationship.jpg.
No comments:
Post a Comment