Judul
Buku : Pendidikan Kaum
Tertindas
Penulis : Paulo Freire
Penerbit : LP3ES
Jumlah Halaman : 221 halaman
Penulis : Paulo Freire
Penerbit : LP3ES
Jumlah Halaman : 221 halaman
Pendidikan Kaum Tertindas (PTK)
adalah buku kecil yang tidak mudah ditamatkan. Saya butuh kurang lebih dua
minggu untuk betul-betul menyelesaikan dan mencoba memahami pemikiran-pemikiran
Paulo Freire dalam buku ini. Meskipun begitu, membaca PTK adalah pengalaman
yang menyenangkan dan sangat membuka pikiran.
PTK terdiri dari empat bab yang
membahas beberapa ide pokok, yaitu: pembenaran bagi pembebasan kaum tertindas;
model pendidikan “gaya bank”; serta prinsip dialogika dan antidialogika. Dalam
PTK, selain menggunakan perspektif pertentangan kelas Marx, Freire banyak
mendasarkan analisisnya pada filsafat manusia, sehingga pendekatan yang ia
pakai sangat humanis. Dalam membahas pembebasan kaum tertindas misalnya. Freire
berkali-kali menyatakan bahwa pembebasan hanya dapat dilakukan oleh kaum
tertindas, bukan oleh kaum penindas. Pembebasan yang diupayakan oleh kaum
tertindas harus dengan maksud untuk menegakkan nilai kemanusiaan; pembebasan
ini dilakukan tidak hanya terhadap kaum tertindas, namun juga terhadap kaum
penindas. Dalam sudut pandang ini, Freire hendak menyatakan bahwa pembebasan kaum
tertindas tidak ditujukan untuk menghancurkan dan kemudian menggantikan posisi
kaum penindas. Apabila hal ini terjadi, pembebasan tersebut lahir dari motif
eksistensial yang salah, karena pembebasan demikian hanya akan melahirkan kaum
penindas baru.
Adalah kurang tepat apabila PTK
hanya ditimbang sebagai buku tentang pendidikan saja. Menurut saya, PTK adalah
lebih dari itu. PTK adalah modul pedoman yang menyediakan dasar filosofis bagi
upaya pembebasan terhadap penindasan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun.
Dalam upaya pembebasan tersebut, pendidikan memiliki peran yang signifikan
dalam penyadaran kaum tertindas. Sebab penindasan yang telah berlangsung lama,
Freire mengingatkan bahwa pada diri kaum tertindas selalu terdapat “ketakutan
akan kebebasan”, penindasan tersebut telah membuat mereka merasa serba nyaman
(dan tak sadar sedang ditindas), sehingga melupakan tugas pembebasan. Selain
itu, kaum tertindas yang telah lama ditindas, menurut Freire, sedikit banyak
telah mengadopsi dan menginternalisasi nilai-nilai kaum penindas dalam dirinya.
Internalisasi itulah yang menyebabkan kenyamanan dan kedamaian palsu pada diri
kaum tertindas. Untuk itu, fokus pertama dan utama pendidikan kaum tertindas
adalah penyadaran terhadap dua hal ini.
Narasi perlawanan terhadap kedamaian
palsu Freire ini dapat ditemukan padanannya pada kritik ideologi Habermas.
Terminologi ideologi pada pemikiran Habermas dan tradisi Teori Kritis merujuk
pada “kesadaran palsu” atau “ilusi sosial”, berupa keyakinan terhadap
mitos-mitos kebenaran yang mendukung kepentingan-kepentingan tertentu serta
melanggengkan hegemoni. Begitupun dengan konsep internalisasi nilai-nilai kaum
penindas dalam diri kaum tertindas, juga memiliki kemiripan dengan pemikiran
postkolonial. Internalisasi nilai-nilai kaum penindas itu disebut sebagai
“mimikri” dalam pemikiran Fanon, yaitu keadaan tercerabutnya diri kaum terjajah
dari identitas tradisionalnya, dan kemudian dipaksa untuk beradaptasi dengan
identitas dan laku hidup penjajahnya. Dengan okupasi identitas kaum penjajah
yang mengalienasi manusia terjajah secara kejiwaan, hal tersebut membantu
melahirkan sindrom rendah diri pada kaum terjajah. Selain memiliki keterkaitan
dengan konsep “ketakutan akan kebebasan” Freire, Habermas dan Fanon, seperti
Freire, sama-sama mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat emansipatoris
dan praksis.
Pendidikan yang membebaskan haruslah
bersifat dialogis. Freire menentang pendidikan “gaya bank”, yaitu pendidikan
yang mengandaikan guru sebagai “penabung” ilmu dan murid hanya berperan pasif
sebagai ”celengan”. Freire menengarai pendidikan model ini sebagai resonansi
dari nilai-nilai yang diyakini kaum penindas, sehingga pendidikan “gaya bank”
tidak dapat memberikan sumbangsih apa-apa terhadap upaya pembebasan. Malahan,
pendidikan “gaya bank” tersebut makin mengekalkan praksis penindasan itu
sendiri.
Model pendidikan yang ditawarkan
oleh Freire adalah pendidikan yang bersifat dialogis. Dalam model pendidikan
ini, posisi guru tidak sebagai yang-tahu-segalanya dan murid tidak dianggap
tidak tahu apa-apa. Pemosisian subjek guru dan murid dalam pendidikan dialogis
adalah guru-yang-murid dan murid-yang-guru. Pendidikan dialogis menghendaki
adanya dialog antara guru-yang-murid dan murid-yang-guru untuk saling
melengkapi keterbatasan pengetahuan. Dengan adanya dialog, maka akan terjadi
pertukaran pengalaman, guru dan murid akan saling membuka dirinya dan mengada
menjadi manusia seutuhnya secara bersama-sama. Proses mengada bersama (saling
memerdekakan) ini mutlak diperlukan dalam upaya pembebasan. Prinsip dialogis
diterapkan tidak hanya pada pendidikan, namun juga pada hubungan antara
pemimpin revolusi dan kaum tertindas. Pemimpin revolusi tidak boleh menjadi
tiran yang egois bagi kaum tertindas yang ia pimpin. Karena tidak lain, pemimpin
revolusi yang tidak dialogis adalah kaum penindas itu sendiri.
Lawan dari prinsip dialogis adalah
prinsip antidialogis. Freire menjelaskan bahwa prinsip inilah yang dipeluk oleh
kaum penindas dalam melanggengkan penindasannya. Prinsip ini diejawantahkan
dalam tindakan antidialogis yang setidaknya memiliki empat watak, yaitu watak
penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Untuk mematahkan
tindakan antidialogis ini, Freire kembali menawarkan prinsip dialogis, yang
diwujudkan dalam tindakan “kerja sama” demi tujuan “persatuan untuk
pembebasan”. Kerja sama dan kebersatuan (antara pemimpin revolusi dan kaum
tertindas) tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk organisasi yang progresif.
Praktek pembebasan ini harus berupa praksis – yang tidak mendikotomikan
refleksi dan tindakan – agar tidak terjebak pada verbalisme atau aktivisme
belaka (pemikiran yang berorientasi praksis ini dapat pula dilihat misalnya pada
tradisi pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt).
Jika teori Freire dihadapkan pada
realitas di Indonesia, menurut saya terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan
kritik dan catatan. Saya pribadi merasakan perbedaan metode pendidikan di
sekolah sejak SD hingga SMA-Universitas. Setidaknya hingga tingkat SMP, metode
pendidikan yang saya alami masih merupakan pendidikan “gaya bank”. Namun,
kira-kira sejak SMA hingga Universitas, sesuai dengan berubahnya kurikulum,
metode pendidikannya menjadi lebih berorientasi pada pendidikan dialogis; guru
hadir sebagai fasilitator dan diskusi antar peserta diskusi diutamakan.
Meskipun metode ini saya pandang baik, namun terdapat beberapa orang rekan saya
yang berkeberatan dengan metode ini. Bagi mereka metode “gaya bank” lebih baik
karena mereka merasa guru lebih tahu segalanya dan mereka takut salah dalam
berpikir. Agaknya Freire benar, mereka yang lebih memilih pendidikan “gaya
bank” merasa “takut akan kebebasan” dan nilai “penindas” masih terinternalisasi
pada diri mereka dengan menganggap metode “gaya bank” lebih baik daripada
metode dialogis. Hal ini kurang lebih sama dengan wacana orang Indonesia yang
merindukan Orde Baru; mereka merasa nyaman dalam penindasan karena tidak sadar
telah ditindas. Bahkan lebih buruk, mereka merindukan untuk ditindas lagi!
Seringkali, para pelaku advokasi
(baik sosial maupun hukum) menganggap diri mereka sebagai pahlawan, pembela
kaum tertindas yang tahu segalanya. Juga sebagai guru-penabung, pemberi fatwa
pembebasan kepada umat tertindasnya yang dipandang bodoh dan tak mengerti dunia
pergerakan. Masyarakat terpinggirkan yang diadvokasi dianggap tidak tahu menahu
dengan keadaan ketertindasannya serta diasumsikan tak paham sama sekali dengan
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melepaskan belenggu ketertindasannya
itu. Jika kita mengambil pemikiran Freire sebagai basis, maka kita percaya
bahwa kaum tertindas memiliki keinginan dan kekuatan yang otonom untuk
membebaskan dirinya sendiri. Pelaku advokasi tidak perlu menganggap dirinya
sebagai orang paling hebat yang memberikan kekuatan liberasi kepada kaum
tertindas yang ia advokasikan. Saya berpikir, bahwa sebelum pelaku advokasi
pelan-pelan menjadi subjek otoritarian yang menjajah, tampaknya mereka butuh
untuk menamatkan PTK dan memahami betul metode dialogis yang Freire
perkenalkan. Dengan menggandeng Freire, semoga saya, anda, atau siapapun yang
ingin berpraksis pembebasan, tidak menjadi pembela rakyat kesiangan.
---
Naskah ini tadinya dibuat untuk keperluan registrasi suatu kursus antikorupsi di Jakarta. Terlalu sayang jika hanya disimpan di dokumen laptop. Karena saya baru membaca sedikit (sekali) tentang Habermas dan postkolonial, maka saya adakan sedikit perubahan dan penambahan. Gambar di kepala tulisan diambil dari http://ibbuku.blogspot.com/2014/03/pendidikan-kaum-tertindas-paulo-freire.html.
---
Naskah ini tadinya dibuat untuk keperluan registrasi suatu kursus antikorupsi di Jakarta. Terlalu sayang jika hanya disimpan di dokumen laptop. Karena saya baru membaca sedikit (sekali) tentang Habermas dan postkolonial, maka saya adakan sedikit perubahan dan penambahan. Gambar di kepala tulisan diambil dari http://ibbuku.blogspot.com/2014/03/pendidikan-kaum-tertindas-paulo-freire.html.
No comments:
Post a Comment