Pada 31 Juli hingga 18 Agustus 2015 lalu, saya berkesempatan mengikuti suatu helatan keren bernama SeHAMA (Sekolah HAM untuk Mahasiswa) VII yang diadakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – tampaknya saya telah beberapa kali pula menyebut tentang SeHAMA di tulisan-tulisan sebelumnya.
Saat menyiapkan barang-barang yang akan saya bawa ke SeHAMA (peserta SeHAMA tinggal bersama di wisma selama kurang lebih tiga minggu penyelenggaraan SeHAMA itu), karena saya kerap menghabiskan waktu dengan membaca buku, maka tentu saya menyiapkan beberapa buku untuk saya bawa. Saya membayangkan, buku-buku itu nantinya akan saya baca saat malam setelah agenda harian selesai. Waktu itu saya juga berencana untuk menulis tentang materi kelas dan kehidupan harian saat SeHAMA setiap harinya. Rencana ini hanya sukses dijalankan dua tiga hari saja, itu pun di hari-hari awal SeHAMA. Di hari-hari sisanya, rencana ini terus-menerus tak terkejar karena beberapa alasan. Alasan yang sama juga menyebabkan buku-buku yang saya bawa tetap tertinggal di dalam tas, tak kunjung saya baca.
Sepanjang yang saya ingat, kala itu saya membawa enam buku, keenam-enamnya bukan buku yang tebal: Mandi Api (Gde Aryantha Soetama), Kaas (Willem Eschott), Pergolakan (Wildan Yatim), Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (Asrul Sani), Manusia Serigala (Abdullah Harahap), dan Jakarta Metropolis Tunggang Langgang (Marco Kusumawijaya). Tahukah anda, tak ada satupun dari enam buku ini yang berhasil saya selesaikan saat SeHAMA. Lalu, karena terbelinya buku-buku baru, keenam buku itu belum ada yang saya baca tuntas hingga hari ini. Semuanya terhenti pada halaman tengah buku, satu dua belum saya mulai baca bahkan. Menyedihkan.
Saya masih ingat, percobaan pertama saya menamatkan buku saat SeHAMA adalah pada hari kedua. Saat itu, saya hendak menamatkan Kaas. Baru tiga empat halaman lewat, seorang teman duduk di depan saya dan bertanya buku apa yang sedang saya baca. Obrolan mengalir dan mengundang beberapa teman lain untuk masuk dalam lingkaran. Kami banyak bicara tentang buku-buku yang kami baca. Teman-teman juga membawa beberapa buku ke SeHAMA ternyata. Obrolan ini berlangsung hingga pasca Isya dan kami beranjak ke luar wisma untuk mencari makan malam. Apa kabar si Kaas? Ia saya tinggal di samping bantal, tak terbaca. Ia tetap tak terbaca hingga sekarang, lebih tepatnya.
Begitupun mimpi saya untuk menulis semacam tulisan tentang kehidupan harian saat SeHAMA mati dengan cara yang sama. Pada malam ketiga SeHAMA, saya sempat mencoba membuat tulisan itu. Karena saya tak terlalu lancar menulis dalam keramaian dan hiruk pikuk, terpaksa saya harus mencari sudut yang sepi di ruang makan wisma (meski kami tak pernah makan di sana). Tulisannya bisa saya selesaikan, tapi itu menghabiskan waktu sekitar dua-tiga jam. Kami di SeHAMA memang diberi tugas untuk menulis jurnal harian per kelompok (terdiri dari empat orang) serta beberapa tugas tulisan pribadi untuk keperluan pelatihan penulisan. Tentu saya tetap menulis untuk keperluan-keperluan itu (ditambah tugas Semester Pendek mata kuliah Tindak Pidana Tertentu dan esai jawaban tes Klinik Hukum! - pengalaman yang buruk betul), namun rencana tulisan harian saya kadung terbengkalai.
Mengapa dua hal itu tak terlaksana? Untuk misi menulis cerita harian, saya kira ia terbengkalai murni karena saya kehilangan niat untuk membuatnya (siapakah ia yang membolak-balik hati?). Tubuh dan pikiran setelah kelas juga tak selalu segar – kelas kami selalu selesai pada jam tujuh malam bahkan lebih (ini juga alasan saya saja, harusnya bisa saja saya usahakan). Namun untuk misi membaca buku, saya punya penjelasan yang lebih menarik.
Kami menghabiskan malam-malam dengan saling menukar cerita dan canda. Ini ruang publik yang kami cipta dan isi sendiri. Interaksi ini biasanya kami lakukan di teras wisma, tempat makan malam, dan mulai minggu kedua kami mengakuisisi ruang tengah sebagai tempat kami bercakap-cakap. Apa saja kami bahas di sana. Tentang kritik terhadap materi kelas hari itu (kami bahkan sempat membuat kritik terhadap materi yang Rocky Gerung berikan, meski kami rasa argumentasi kami tak kuat-kuat amat), cerita dari daerah masing-masing, musik, buku, film, semuanya kami bicarakan. Mayoritas percakapan ini (apapun tema bahasannya) kami sampaikan dengan bahasa humor, kental dengan canda-candaan dan ejek-ejekan yang seringkali brutal. Dibanding menghabiskan waktu membaca buku sendiri, saya memilih untuk ikut dalam pembicaraan-pembicaraan orang ramai itu. Saya tak bisa mendengar cerita tentang Papua dan Aceh setiap hari, misalnya. Lagipula, teman-teman SeHAMA saya ini orangnya hebat-hebat dan unik-unik sekali. Sangat sayang apabila saya berinteraksi dan mengenal mereka hanya di kelas, karena relasi yang terbangun adalah relasi sejawat-satu-sekolah saja, tidak ada intimasi antar sahabat. Membangun kedekatan kadang lebih penting daripada menghabiskan waktu untuk diri sendiri, memang.
Untuk teman-teman yang membaca
tulisan ini, yang berkeinginan untuk mengikuti SeHAMA tahun depan atau tahun depannya
lagi, saya punya beberapa saran agar pengalamanmu jadi mengesankan dan pantas
dikenang. Kalau mau membawa buku, bawalah beberapa saja, tak usah terlalu
banyak (toh anda tak akan punya waktu cukup untuk menyelesaikannya). Kalau anda
nanti menemukan situasi yang sebelas-duabelas dengan cerita yang saya tulis di
atas, saya sarankan kepada anda untuk tak perlulah terlalu memaksakan diri
untuk membaca-menyelesaikan buku. Saat SeHAMA, membaca buku sebagai teks yang
tercetak jangan dijadikan kewajiban. Gantilah kewajiban membaca buku itu dengan
membaca manusia; membaca teks yang tak tercetak, yaitu kehidupan, cengkrama,
dan percakapan dengan sesama peserta SeHAMA. Pembacaan terhadap manusia dan
cerita hidupnya akan melahirkan teman dekat-teman dekat baru, percayalah. Saat kedekatan
terbangun, laku membaca manusia naik satu tapak: membaca teman. Karena sifatnya
timbal-balik, dalam laku membaca teman, anda tak akan merasa jadi patung kaku
yang bergerak satu arah; membaca teman adalah proses saling melengkapi, mengentalkan
kedekatan.
Akhirnya, dapat saya katakan bahwa membaca teman di SeHAMA membuat saya tak menyesal menyisakan enam buku yang saya bawa tersebut jadi teronggok dan tak terjamah. Tak apa.
Akhirnya, dapat saya katakan bahwa membaca teman di SeHAMA membuat saya tak menyesal menyisakan enam buku yang saya bawa tersebut jadi teronggok dan tak terjamah. Tak apa.
Sial, saya jadi kangen mereka.
No comments:
Post a Comment