*
Istilah
“cantik” dalam argumen singkat ini menunjuk pada kerupawanan paras perempuan
sekaligus laki-laki. Selain karena akan terlalu panjang dan – kata seorang
teman yang bertani kopi di Jatinangor – “tak dapat prosanya” jika memaksakan
menyebut “cantik dan ganteng”, saya juga mencurigai bahwa istilah “ganteng”
atau “tampan” hanyalah bahasa yang dicari-cari saja untuk menemukan padanan istilah
“cantik” untuk laki-laki. Padahal, ketiganya sama-sama menerangkan tentang paras
yang rupawan, atau, menurut Google Translate: “pleasing the senses or mind aesthetically”.
1.
Ada
mitos yang harus diuji (dan dipatahkan jika terbukti keliru) pada setiap
pelabelan (labeling) yang dianggitkan
pada seseorang. Menantang mitos perlu
dilakukan karena saking berurat-akarnya, mitos itu kadung menjadi hegemoni. Pada
hegemoni, terdapat kesadaran palsu serupa kewarasan yang tertutup asap dan terhadapnya,
harus diadakan pengungkapan kebenaran.
Masyarakat,
setidaknya berdasarkan teori pelabelan yang tadi pagi saya pelajari di kelas
Kriminologi dan Viktimologi, adalah entitas yang suka mengambil peran sebagai hakim
dan merasa dirinya paling benar. Dalam perspektif yang sangat strukturalis,
masyarakat diteorikan sebagai suatu struktur pencemburu yang gerah jika melihat
ada seseorang di dalam tubuhnya yang “menyimpang”.
Dengan
mengecualikan penyimpangan berupa pelanggaran hukum, ada kemapanan mitos dan ideologi
yang harus didekonstruksi pada cara struktur memahami “penyimpangan”. Apa itu perilaku
“menyimpang”? Siapa itu yang melakukan “penyimpangan”? Definisi kedua hal
tersebut sepenuhnya berada di tangan masyarakat. Maka, nasib sial tertimpakan
pada mereka yang unik dan berbeda. Karena,
atas nama keseragaman, ketidakmenyimpangan,
dan moralitas masyarakat, mereka yang unik dan berbeda tersebut harus siap
dicap sebagai pelaku penyimpangan dan kalau perlu dikucilkan jika tidak mau insyaf
dengan mengikuti jalan lurus yang ditentukan secara sepihak oleh masyarakat.
Selayaknya
pada vonis tentang apa yang lurus dan apa yang menyimpang, masyarakat (sebagai
struktur di mana keunggulan laki-laki dipertahankan) juga membuat vonis seenaknya tentang apa yang
cantik dan apa yang buruk. Dalam menentukan yang “cantik” dan yang “buruk”,
masyarakat mengambil pengaruh dari mana saja. Citra “cantik” arus-utama
ditentukan dari hibrida fantasi dan imajinasi tentang makna “cantik” menurut
iklan-iklan produk kecantikan, pesona artis-artis layar televisi (dengan
kehidupan serba sempurnanya), dan dalam konteks perempuan, standarisasi
kecantikan ala Miss Universe serta boneka Barbie.
“Cantik”
kemudian menjadi narasi yang dipaksakan. Ia menjadi sistem tertutup yang
menolak representasi makna alternatif yang berbeda dengan makna “cantik” yang masyarakat
tentukan. “Cantik” yang kontekstual adalah “cantik” yang maknanya tidak
dimonopoli. Dengan begitu, makna “cantik” seharusnya inklusif dan tidak tunggal.
Tesis ini tidak saya simpulkan sebagai argumen penghiburan untuk orang yang – menurut masyarakat – tidak
terlalu cantik, namun lebih dari itu. Saya menduga, berkembangnya persepsi
terhadap ketidaktunggalan makna “cantik” dapat menjadi indikator penting
terpenuhinya tujuan depatriarkisasi masyarakat.
2.
Pemaksaan
makna “cantik” secara egoistik adalah satu masalah. Ketika status kecantikan menjadi
patokan moral kitadalam memperlakukan orang lain, timbul masalah lain: apakah
menjadi cantik (dengan apapun maknanya) adalah hal yang penting dan diperlukan
(necessary)?
Meski
mungkin tak terlalu nyambung, agaknya
cukup menarik untuk menukil sedikit tentang politik pengakuan Axel Honneth
dalam merekonstruksi cara kita memandang dan memperlakukan individu lain
sebagai subjek. Konsep politik pengakuan Honneth yang ia kembangkan dari
pemikiran Hegel, adalah tiga bentuk pengakuan timbal balik, yaitu: cinta (love), tatanan hukum (legal order), dan solidaritas (solidarity).
Pengakuan
timbal balik berdasarkan cinta, misalnya, mensyaratkan dibangunnya “hubungan
atau relasi yang memungkinkan diri subjek meraih kembali pengakuan atas
kehormatan dan harga dirinya”, di mana relasi itu hanya dapat dicapai dalam
hubungan yang penuh penghargaan dan positif. Dengan begitu, hubungan yang
positif pastilah dilahirkan dari interaksi individu yang memandang individu
lain sebagai subjek yang sama setara dengan dirinya.
Lantas,
apa hubungannya politik pengakuan Honneth dengan persepsi tentang kecantikan?
Konsekuensi
upaya mendekonstruksi makna “cantik” yang egoistik adalah terjadinya
kelimpungan, karena makna “cantik” menjadi begitu banyak dan inklusif (bukankah
itu adalah hal yang diinginkan?). Dalam situasi tersebut, saya rasa pikiran
untuk membangun relasi dengan individu lain hanya berdasarkan pada status
kecantikannya adalah sesuatu yang sangat picik. Pikiran seperti itu mereduksi
subjek hanya sebagai tampilan kulitnya saja; relasi yang penuh penghargaan dan
positif tak mungkin dilahirkan dari motivasi macam begini.
Saya
jadi sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika status kecantikan seseorang (apapun
maknanya) menentukan bagaimana cara ia diperlakukan dan bagaimana relasi dengannya
dibangun, maka menjadi cantik (lagi-lagi, apapun maknanya) tidaklah penting dan
diperlukan.
---
Catatan:
Kutipan
mengenai Axel Honneth diambil dari Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kritis Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hlm. 40-46. Gambar diambil dari timeline
akun Line adik sepupu saya yang sedang beranjak remaja. Teks ini merupakan
elaborasi lebih lanjut dari percakapan saya dengan Aussielia beberapa waktu
lalu, sehingga beberapa pandangannya terkandung pula dalam teks ini.
Oh
ya, teks ini mungkin saja prematur. Masukan untuk melengkapi,
mengkritisi, juga mendekonstruksi teks ini sangat saya tunggu.
No comments:
Post a Comment