Saya tak pernah punya jawaban yang pasti dan meyakinkan ketika dihadapkan pada pertanyaan "Mengapa dan untuk apa kamu belajar?". Catatan harian Ahmad Wahib ini, memberikan jawaban yang fasih nan terang terhadap pertanyaan itu:
Yang Penting Bagiku adalah DialogAku adalah orang yang kurang banyak membaca, sehingga banyak sekali istilah-istilah ilmiah yang tak aku kuasai dalam mengungkapkan isi pikiran. Hal ini, untuk sebagian disebabkan karena pendidikan sekolah yang kutempuh selama ini berada di luar lingkaran ilmu pengetahuan sosial, selain sebagian juga disebabkan oleh penguasaan bahasa Inggeris - apalagi bahasa asing lainnya - yang sangat kurang. Literatur-literatur asing sedikit sekali yang bisa kubaca dan itulah sebagian sebabnya, metodologi keilmuan tidak saya kuasai dengan baik. Aku tidak memiliki modal ilmu. Yang kumiliki hanyalah nafsu atau emosi untuk berfikir terus mencari kebenaran dan berusaha terus menegakkan kejujuran dan kebaikan. Karena itulah pikiran-pikiran yang kukumpulkan dalam tulisan-tulisan lebih banyak sebagai suatu analisa ilmiah. Kebanyakan dari isi pikiranku adalah sekedar hasil dari renungan-renungan sewaktu makan, tiduran, naik sepeda, jalan kaki sepanjang jalan raya, nonton filem, naik spur dan lain-lain tanpa suatu basis ilmu yang memadai.Janganlah anda tanya padaku bagaimana tentang isi sebuah buku yang baru selesai kubaca. Aku tidak pernah ingat dengan baik akan isinya dan aku memang tidak pernah berusaha mengingatnya, walaupun aku bukanlah orang yang merasa tidak beruntung mengingatnya. Syukurlah kalau kebetulan masih ada yang teringat dan tidak apalah bila telah melupakannya semua. Yang penting bagiku adalah dialog yang terjadi antara aku dan pengarangnya sewaktu tulisan itu kubaca. Aku buka pintu hati dan otakku selebar-lebarnya untuk memperoleh pengaruh dari pengarang itu di samping sekaligus aku berusaha menyaringnya dengan cermat. Aku ingin bahwa dialog dengan buku-buku itu tidak hanya menambah pengetahuanku tapi lebih-lebih lagi membantu dan mempengaruhi sikap hidupku. karena itu aku selalu berusaha mencerna, menyaring, mengkritik dan meresapinya agar dia berjabat tangan lebih erat dengan pikiran-pikiran dan kepribadian yang sudah ada dan menyempurnakannya. Akupun berusaha, terlebih-lebih lagi, membentuk dan mengolahnya agar yang sudah ada dan baru datang itu bersenyawa dan menyatu secara serasi dan menemukan suatu bentuk pengungkapan baru yang segar sesuai dengan penghayatan-penghayatan dalam diriku. Dan yang paling penting adalah usahaku bahwa dialog dengan pikiran-pikiran pengarang itu akan mengantarkan aku pada kebenaran-kebenaran baru yang lebih tinggi. Sikap-sikap seperti ini kulakukan pula bila aku mengikuti diskusi, mendengarkan ceramah, berdebat atau menghadiri seminar-seminar. Aku sangat bersedih hati bila setelah selesai diskusi, berdebat, ceramah atau seminar, aku tidak punya waktu untuk merenungi apa-apa yang baru lewat itu dengan baik dan leluasa. Sebab hanya dengan merenung dan merenung, apa yang aku lihat, dengar dan rasakan dalam peristiwa-peristiwa itu akan bisa menjelma secara serasi dalam diriku sebagai suatu kesatuan dan membantu mempermatang kepribadianku, dan menambah ilmuku bukan sebagai kumpulan potongan-potongan tapi sebagai suatu kebulatan sistem.Aku berusaha mencerna, mencoba dan mengasah terus agar apa yang sudah ada itu makin lama makin padat dan bulat, agar tecapailah suatu gambaran diri yang konsisten.
8 Februari 1970