Sejak tahun '60-an, Jakarta sudah menjadi kota yang mengasingkan manusia.
Sobron Aidit, suatu ketika di tahun 1954, menulis sajak. Saya kutipkan selengkapnya:
Bulan berlayar, hatiku hambar
Malam begini malam berbisa
Karena aku bukan di tempatnya
Dan dada rasa terbakar.
Bulan terang di Jakarta
Sedang hati jauh menyisih
Mencari ibu dan kekasih
Di pagi hijau terlontar menemu duka
Di sini beginilah aku
Tidak punya pangkalan
Buat menambat pilu.
Terdiam, berjalan, menghilang
Tanpa menemu hakekat
Sedang perhitungan sudah berbilang.
Sajak itu berjudul Malam Terang di Jakarta. Dari sebuah sajak, ternyata kita bisa menghayati jiwa sebuah kota, dan segera kita lihat bahwa Jakarta dalam pandangan aku-lirik memang terang. Namun dalam ke-terang-annya itu, kita baca baris-baris yang menunjukkan bahwa manusia dalam kota itu tidaklah seterang apa yang visual. Pada bait pertama terbaca baris: aku bukan di tempatnya; bait ke dua: hati jauh menyisih; bait ke tiga: tidak punya pangkalan; dan bait ke empat: tanpa menemu hakekat. Segalanya menjadi asing di Jakarta, manusia terasing di kotanya sendiri, meski di kota seperti Jakarta kalkulasi profesional berlangsung dengan cermat: sedang perhitungan sudah berbilang.