Sejak tahun '60-an, Jakarta sudah menjadi kota yang mengasingkan manusia.
Sobron Aidit, suatu ketika di tahun 1954, menulis sajak. Saya kutipkan selengkapnya:
Bulan berlayar, hatiku hambar
Malam begini malam berbisa
Karena aku bukan di tempatnya
Dan dada rasa terbakar.
Bulan terang di Jakarta
Sedang hati jauh menyisih
Mencari ibu dan kekasih
Di pagi hijau terlontar menemu duka
Di sini beginilah aku
Tidak punya pangkalan
Buat menambat pilu.
Terdiam, berjalan, menghilang
Tanpa menemu hakekat
Sedang perhitungan sudah berbilang.
Sajak itu berjudul Malam Terang di Jakarta. Dari sebuah sajak, ternyata kita bisa menghayati jiwa sebuah kota, dan segera kita lihat bahwa Jakarta dalam pandangan aku-lirik memang terang. Namun dalam ke-terang-annya itu, kita baca baris-baris yang menunjukkan bahwa manusia dalam kota itu tidaklah seterang apa yang visual. Pada bait pertama terbaca baris: aku bukan di tempatnya; bait ke dua: hati jauh menyisih; bait ke tiga: tidak punya pangkalan; dan bait ke empat: tanpa menemu hakekat. Segalanya menjadi asing di Jakarta, manusia terasing di kotanya sendiri, meski di kota seperti Jakarta kalkulasi profesional berlangsung dengan cermat: sedang perhitungan sudah berbilang.
Sementara itu, riwayat Sobron Aidit sudah dikenal. Saudara dari D.N. Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia yang terlarang itu, semenjak 1965 tak bisa melanjutkan hidupnya sebagai warga Jakarta, menjadi manusia pengungsi di Paris, mendirikan Restoran Indonesia yang sering menjadi ilustrasi perbincangan tentang orang-orang terbuang. Rasanya sahih untuk mengandaikan, betapa Sobron Aidit menjadi makin terasing. Pertanyaannya, apakah mereka yang tetap tinggal di Jakarta bisa merasa kurang terasing dibanding Sobron?
Hanya setahun setelah Sobron menulis sajak itu, seorang anak muda berumur 20 tahun menulis:
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya!
O, getirnya kulit limau!
o, betapa lunglainya!
Bulan telah pingsan.
Mama, bulan telah pingsan.
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya.
Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
bocah pucat tanpa mainan, pesta tanpa bunga.
O, kurindu napas gaib!
O, kurindu sihir mata langit!
Bulan merambat-rambat.
Mama, betapa sepi dan sendirinya!
Begitu mati napas tabuh-tabuhan
maka penari pejamkan mata-matanya
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya
Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, sayang di hatiku!
Dalam sajak Bulan Kota Jakarta ini, bukan hanya manusia, bahkan rembulan terasingkan dari Jakarta: tak seorang menatapnya. Padahal bulan telah pingsan, sehingga lunglai, bagai getirnya kulit limau. Tentu kita boleh percaya, bahwa personifikasi rembulan ini merupakan identifikasi diri aku-lirik sendiri: manusia terasing di kota Jakarta - dan penulis sajak ini bernama Rendra.
Well, tahun 1954 dan 1955 itu rasanya jauh sekali. Saya saja belum lahir. Mungkin Anda membaca catatan ini tahun 2001. Sudah 46 tahun. Itu bukan waktu yang pendek. Terutama untuk menumbuhkan sebuah kota dengan percepatan gila-gilaan seperti Jakarta. Padahal, kalau kita melihat foto-foto Jakarta di tahun 50-an sekarang ini, kita akan seperti melihat sebuah kota yang kosong. Jalanan lengang, yang disebut gedung cuma bekas-bekas bangunan Belanda, keramaian kota adalah dering becak, klakson oplet, dan deru trem saja. Belum ada polusi udara. Toh manusia sudah merasa begitu terasing. Sekali lagi:
lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya.
Keterasingan atau alienasi adalah wacana yang tumbuh bersama lahirnya sebuah kota, di mana manusia tidak dihubungkan oleh kesatuan adat, apalagi darah, seperti dalam masyarakat tradisional dalam pola kekerabatan di kampung melainkan terutama oleh kesatuan kepentingan. Di negeri seperti Indonesia yang apa boleh buat harus disebut miskin, Jakarta menjadi tumpuan kepentingan bernama survival. Orang datang ke Jakarta untuk menyambung dan mempertahankan hidup, dalam arti kiasan maupun sebenarnya, bukan karena cinta kepada Jakarta.
Kepentingan survival ini membuat orang Jakarta berkompetisi. Keakraban mengalami reduksi. Maka manusia pun hidup dalam keterasingan. Dalam pertumbuhan kota yang hanya tersusul oleh kartografer (pembuat peta), selalu ada yang baru di Jakarta, selalu ada yang belum kita kenal, selalu ada yang masih asing. Jakarta, sejak masih bernama Jayakarta di abad XVI, memang terbentuk dalam lintas kosmopolitan, sehingga terus-menerus berubah. Mula-mula perlahan, tapi kemudian menjadi sangat cepat - sehingga cukup membingungkan, dan menyebabkan diri merasa terasing.
Namun keterasingan bukanlah akhir dunia. Seterasing-terasingnya, mereka yang tinggal di Jakarta selalu mempunyai perasaan yang mesra tentang kotanya. Keterasingan selalu bertimbal balik dengan kerinduan. Saya kutipkan untuk pembaca yang terhormat, sebuah bait dari sajak Ibukota Senja yang ditulis penyair Toto Sudarto Bachtiar di tahun 1951:
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
Mengurai dan layung-layung membara di langit barat daya
O, kota kekasih
Tekanan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu.
Nah, apakah yang akan Anda catat, dari Jakarta tahun ini?
***
Dikutip dari Seno Gumira Ajidarma, Affair: Obrolan tentang Jakarta, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), hlm. 16-20.
No comments:
Post a Comment