Minggu
sore tanggal 21 Agustus 2016. KA Bogowonto yang mengangkut kami -Tyo,
Cassandra, Kezia, Digda, dan saya- berhenti di Stasiun Senen. Kami kembali ke
Jakarta setelah lima hari empat malam berlibur ke Yogyakarta. Saat saya sampai
di rumah, yang tersisa dari perjalanan itu adalah rasa lelah, kantuk, serta
melankoli yang sukar ditepis. Perjalanan kali ini meninggalkan beban yang terasa
asing, sementara perjalanan-perjalanan lain lazimnya diakhiri dengan hati ringan.
Waktu itu, saya ingat, saya pulang dengan tidak bersemangat.
Saya lumayan
yakin sumber beban itu tidak terletak dalam substansi perjalanannya. Bukan, ini
bukan masalah kekesalan tak terucapkan terhadap nama-nama yang saya sebut di
atas, atau ketidakpuasan terhadap tempat-tempat yang kami sambangi. Beban ini
bersifat eksternal-perjalanan. Setelah memilah-milah jalinan benang yang kusut
di hati dan kepala, hasil tebakan terbaik saya menunjukkan bahwa beban itu paling
mungkin lahir dari keengganan menghadapi
konsekuensi-konsekuensi yang ditaburkan
nasib seusai perjalanan ke Yogyakarta tamat. (Perlu dijelaskan, kami
berlima menyelesaikan studi dan lulus tahun ini. Ini berarti perjalanan jauh terakhir
kami secara bersama-sama, sebagai mahasiswa.)
Saat
berputar-putar di sekujur Yogyakarta, kami berbicara dan bercanda tentang apa
saja. Mulai dari hal penting hingga printilan yang tak ada signifikansi sama
sekali. Dari daftar topik-topik obrolan itu, ada satu hal yang tidak (mau) kami
bicarakan: tentang hal-hal mengenai dan sekitar "Mau apa kau setelah lulus?". Ini topik mengerikan yang
berpotensi menimbulkan kegundahan hati setelah mempercakapkannya. Juga telah
kami sepakati, saat KA Gajahwong menggendong kami ke Yogyakarta pada 17 Agustus
2016, bahwa topik ini “jangan sampai dibahas” karena “akan membikin depresi”. Bisa
jadi, perjalanan kami terasa menyenangkan hanya karena topik tersebut tidak
pernah kami bahas. Kami pikir, waktu selama di Yogyakarta selayaknya dihabiskan murni
untuk mencari bahagia dan melepas lelah saja, sedang urusan hidup pasca kuliah
bisa dipikir-pikir di lain hari.
***
Saya telah
dihantui pertanyaan semacam itu sejak masa-masa awal penulisan skripsi.
Syukurnya, waktu itu saya masih menghadapi kewajiban menyelesaikan skripsi yang
nyata di depan mata, sehingga saya punya alasan untuk menunda berpikir tentang
rencana hidup pasca kuliah. Saya pakailah logika penyangkalan: apabila
memikirkan suatu hal hanya akan membuatmu pusing sebab tak dapat menemukan
jawaban yang memuaskan untuk hal itu, lebih baik tak usah memikirkannya. Langsung
saja disangkal begitu ia mengetuk mau masuk ke kepala. Ketika urusan skripsi
dan wisuda kelar, pertanyaan itu kembali merayapi otak, kali ini, mau tak mau ia
harus dihadapi, tak bisa lagi ditolak-tolak.
Bagaimana
cara paling pakem untuk menjawab pertanyaan itu? Orang bisa jawab dengan sederhana:
pikirkan, putuskan, lalu jalani. Semuanya kau lakukan sendiri, sebab kaulah yang
memegang hidupmu. Tak ada faedahnya meminta orang lain menjawabkannya untukmu. Jika
mengikuti pendapat ini, dapat kita pahami bahwa jawaban terhadap pertanyaan
tersebut dilahirkan dari konflik pikiran serta batin yang sifatnya selalu
personal. Karena bersifat personal, tiap-tiap orang mesti meneliti dirinya
sendiri; melokalisasi hal-hal tertentu
yang berkaitan dengan visi mengenai masa depannya. Hal-hal tertentu tersebut kemudian menawarkan kemungkinan-kemungkinan
untuk dipilih. Tiap kemungkinan yang dipilih membawa konsekuensinya
masing-masing. Bagaimana jika yang saya pilih adalah A, sehingga B dan C harus
saya sisihkan? Jika saya akhirnya memilih A, bagaimana konsekuensinya
terhadap urusan H dan Y yang datang belakangan? Pada kasus saya, akar
kepusingan eksistensial macam begini adalah ketidakkuasaan saya dalam
menjatuhkan putusan, secara jernih dan penuh pertimbangan, terhadap kemungkinan-kemungkinan
yang seharusnya saya pilih. Selain itu, kadang saya juga tidak mampu membangun gambaran di kepala, mengenai konsekuensi apa yang akan timbul jika saya memilih suatu kemungkinan. Pada keadaan lain, konsekuensi itu dapat saya bayangkan dengan jelas, namun saya tak berani menghadapinya. Semakin dipikirkan, semakin saya sadar bahwa saya
tak punya kendali yang kokoh dan kuat terhadap kehidupan yang ingin saya jalani
di hari mendatang.
Kendali
yang tak kokoh itu, saya pikir, dapat disebabkan oleh banyak perkara. Ia dapat
berbentuk ideal-ideal masa muda yang ingin diteruskan; keinginan untuk hidup
dekat mereka yang tertindas, sementara perut sendiri perlu diisi; wacana
melanjutkan pendidikan; visi tentang pekerjaan idaman; atau bahkan kemungkinan
menjajaki perkawinan. Pendeknya, keadaan ini, bagi saya, adalah terjadinya kontestasi
berbagai teks sosial yang minta dipertimbangkan oleh manusia. Di sana terjadi
tarik-menarik, sodok-menyodok, antara teks sosial yang satu dengan yang lain. Manusia
yang ditarik-disodok belum tentu dapat memutuskan mana teks yang paling tepat
untuk ia pilih. Ditambah dengan penyadaran bahwa manusia tak selalu tahu tentang
kehidupan yang ia jalani, kontestasi itu jadi makin brutal. Namun demikian,
menurut saya, keadaan yang penuh kerentanan ini tak selamanya harus dimaknai
secara negatif. Mengutip Fuad Hassan, keadaan ini dapatlah disebut sebagai fase
“Penyeberangan”. Disebutkan oleh Hassan:
Penyeberangan itu merupakan ikhtiarnya untuk membangun suatu dunia yang dirancangnya sendiri, tetapi nyatanya dunia rancangannya tidak pernah akan rampung bulat, tiap perampungan akan menganga lagi menuntut penyeberangan lebih lanjut.
***
Sepertinya, saya akan memilih kemungkinan-kemungkinan yang saya percaya
paling tepat, setidaknya untuk masa sekarang. Jika kemungkinan-kemungkinan itu dipandang
tidak tepat oleh saya-di-masa-depan, tak apa. Toh setelah
kemungkinan-kemungkinan itu dipilih, akan muncul lubang-lubang menganga
yang menuntut dipilihnya kemungkinan-kemungkinan lain. Fase “Penyeberangan”
tidak hanya terjadi sekali, melainkan berkali-kali sampai manusia mati. Dengan
demikian, saya, sebagaimana manusia-manusia lain, akan terus menyeberang hingga
habis napas. Harapan saya, semoga penyeberangan yang akan saya jalani sekarang dapat saya lewati dengan selamat.
Bang Dion, ini Fira. Nulis terus ya bang! Kali bisa sumbang ke barikarafhui.com :)
ReplyDelete