Saya
bukan orang yang menggilai sepakbola. Paling-paling, dulu saat masih
SD, saya sempat tertarik dengan AC Milan. Penyebabnya remeh: Ibu
membelikan saya selimut, handuk, dan jam dinding bergambar logo AC
Milan. Begitu saja. Tak ada ikatan emosi yang luhur, semua hanya
kebetulan. Selebihnya, saya ingat pernah beberapa kali main Winning
Eleven dan Pro Evolution Soccer, serta ikut bertanding futsal saat
SMP-SMA. Di luar itu, sepakbola dan saya tak pernah saling bertamu.
Beberapa
waktu lalu, keadaan hubungan kami (sepakbola dan saya) yang dingin itu
dihangatkan oleh buku kumpulan esai Zen Rachmat Sugito, Simulakra Sepakbola (Indie Book Corner, 2016). Zen adalah pendiri dan editor Pandit Football,
situs penyedia artikel-artikel segar mengenai sepakbola, yang sayangnya
tak terlalu saya mengerti (maklum, bekal epistemologis saya terkait
wawasan persepakbolaan sangat lemah, kalau tidak bisa dikatakan kosong
sama sekali). Zen adalah penulis esai yang handal; saya cukup rutin
membaca esai-esainya sejak 2012. Saya lupa judul esai Zen yang pertama
kali saya baca, namun, yang pasti, sejak pembacaan pertama itu saya jadi senang
mengikuti publikasi esai-esai terbaru Zen. Sekarang, selain
memublikasikan tulisannya di banyak media, baik cetak maupun daring, Zen
aktif menulis di blog Kurang Piknik. Dulu, Zen pernah juga menulis di blog Pejalan Jauh yang tampaknya sudah tidak ia perbarui lagi.
Simulakra Sepakbola sendiri berisi 25 esai, yang jika ditarik benang merahnya, berkisar di antara dua tema: pertama, cerita-cerita tentang persentuhan Zen dengan sepakbola; serta kedua,
analisis mengenai hal-hal seputar sepakbola dengan menggunakan banyak perspektif/teori
yang tidak pernah dipakai oleh komentator pertandingan sepakbola di
televisi manapun.
Sejujurnya, saya lebih suka membaca esai-esai Zen tentang sejarah, sastra, filsafat, dan sosial-politik, daripada esai-esainya tentang sepakbola (belakangan, seusai menamatkan Simulakra Sepakbola, saya baru mengetahui bahwa justru esai-esai sepakbola Zen selalu berkaitan dengan perspektif sejarah, sastra, filsafat, dan sosial-politik). Mungkin itu yang membuat saya tak banyak membaca esai-esai Zen di Pandit Football. Tadinya, saya berasumsi bahwa esai-esai Zen yang bukan-tentang-sepakbola lebih dapat saya akses dan pahami, sebab konteks narasinya lebih terbuka dan mondial; tidak seperti esai-esai tentang-sepakbola, suatu tema spesifik yang tak saya kuasai. Tentang sepakbola itu, saya sadar bahwa saya tidak paham konteks; tak tahu-menahu tentang pemain A, klub C, taktik permainan H, atau sejarah pertandingan K. Prasangka-prasangka tersebut tetap menggelantungi saya saat hendak membeli Simulakra Sepakbola. Tetapi, saya pikir, meskipun temanya tentang sepakbola, penulisnya adalah Zen RS! Karena itu, walau ada kemungkinan saya tak mampu menikmati Simulakra Sepakbola secara keseluruhan, buku ini tetap haram dilewatkan. Setelah membaca tiga-empat esai dalam Simulakra Sepakbola, saya tahu bahwa prasangka-prasangka itu keliru.
Simulakra Sepakbola adalah buku kumpulan esai yang sukses; ia dapat mengambil hati segala jenis pembaca. Esai-esai di dalam Simulakra Sepakbola unggul secara teknik penulisan. Menurut saya, Simulakra Sepakbola, secara halus dan tak langsung, memaparkan banyak pelajaran tentang menulis esai dengan baik. Saya akan coba menguraikan beberapa pelajaran mengenai penulisan esai yang saya dapat dari Simulakra Sepakbola.
Sejujurnya, saya lebih suka membaca esai-esai Zen tentang sejarah, sastra, filsafat, dan sosial-politik, daripada esai-esainya tentang sepakbola (belakangan, seusai menamatkan Simulakra Sepakbola, saya baru mengetahui bahwa justru esai-esai sepakbola Zen selalu berkaitan dengan perspektif sejarah, sastra, filsafat, dan sosial-politik). Mungkin itu yang membuat saya tak banyak membaca esai-esai Zen di Pandit Football. Tadinya, saya berasumsi bahwa esai-esai Zen yang bukan-tentang-sepakbola lebih dapat saya akses dan pahami, sebab konteks narasinya lebih terbuka dan mondial; tidak seperti esai-esai tentang-sepakbola, suatu tema spesifik yang tak saya kuasai. Tentang sepakbola itu, saya sadar bahwa saya tidak paham konteks; tak tahu-menahu tentang pemain A, klub C, taktik permainan H, atau sejarah pertandingan K. Prasangka-prasangka tersebut tetap menggelantungi saya saat hendak membeli Simulakra Sepakbola. Tetapi, saya pikir, meskipun temanya tentang sepakbola, penulisnya adalah Zen RS! Karena itu, walau ada kemungkinan saya tak mampu menikmati Simulakra Sepakbola secara keseluruhan, buku ini tetap haram dilewatkan. Setelah membaca tiga-empat esai dalam Simulakra Sepakbola, saya tahu bahwa prasangka-prasangka itu keliru.
Simulakra Sepakbola adalah buku kumpulan esai yang sukses; ia dapat mengambil hati segala jenis pembaca. Esai-esai di dalam Simulakra Sepakbola unggul secara teknik penulisan. Menurut saya, Simulakra Sepakbola, secara halus dan tak langsung, memaparkan banyak pelajaran tentang menulis esai dengan baik. Saya akan coba menguraikan beberapa pelajaran mengenai penulisan esai yang saya dapat dari Simulakra Sepakbola.