Hari Minggu (11 Agustus 2019) lalu, selepas acara kurban di masjid komplek,
saya berpapasan dengan pasangan suami-istri Pak Ansyahrul dan Bu Sri di depan
rumah. Saya menyalami mereka dan mengenalkan diri. Pak Ansyahrul ingat ia pernah menerima buku saya, dan ia katakan
bahwa ia sudah baca buku itu, serta setuju bahwa “penafsiran itu penting bagi
hakim”. Pada percakapan itu, saya menyebut tentang dua buku tulisan Pak
Ansyahrul yang pernah saya baca, satu tentang sejarah peradilan di Jakarta, serta
satu lagi tentang etik hakim dan pemuliaan peradilan. Ia belajar
ilmu hukum di UI, angkatan 1964, dan penulisan skripsinya dibimbing guru besar
kita yang tak tergantikan, Prof. Dr. Gouw Giok Siong. Waktu itu nama
fakultasnya masih “Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasjarakatan (FHIPK)”.
Pak Ansyahrul adalah peletak dasar sistem pengawasan hakim
di Mahkamah Agung. Ia adalah Kepala Badan Pengawasan MA yang pertama, dan
terakhir bertugas sebagai Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ia masuk dalam
daftar “Hakim Pilihan” Majalah Tempo edisi 9 Agustus 2010. Ia dikenal sebagai
hakim berintegritas yang hidupnya amat lurus. Hingga sekarang pun ia masih sering
mengisi pelatihan-pelatihan tentang etik hakim.
Buku-buku tulisan Pak Ansyahrul menarik bagi saya, karena ia
menaruh minat serius pada kajian sejarah hukum. Saya ingat, ia mengutip beberapa
Indonesianis jagoan dalam tulisannya, semisal Daniel Lev dan Denys Lombard. Dari
informasi yang ia sampaikan, saya baru tahu bahwa Indonesia pernah menggunakan
sistem peradilan juri pada saat pendudukan Raffles, dan bagaimana kenyataan
tersebut, bertungkus-lumus dengan segala bentuk adopsi/transplantasi hukum lain
yang pernah kita terapkan di sini, membuat Indonesia menjadi “negara dengan
sistem hukum paling rumit di dunia” (kalimat ini ia kutip dari Lev). Dengan uraian
pendek ini saja, dapat tergambar bahwa Pak Ansyahrul adalah yuris yang melek
kajian ilmu sosial serta fasih berbicara sejarah. Mungkin ini ada hubungannya
dengan latar belakangnya sebagai alumni FHIPK, yang menurut Satjipto Rahardjo,
pada masa itu dianggap banyak kalangan sebagai “manusje
van alles”, manusia yang bisa/menguasai segala-galanya.
Dalam perbincangan itu, Pak Ansyahrul menanyakan kepada saya,
apakah saya sudah baca “Korupsi” tulisan B. Herry Priyono? “Sudah mulai baca,
Pak,” saya bilang. Ia mengulas singkat buku itu dan bercerita bagaimana pada
zaman antik, cakupan makna istilah “korupsi” lebih luas daripada yang kita
pahami saat ini, dan korupsi di masa itu dipandang sebagai perbuatan
pengkhianatan kepada publik. Ia sebutkan pula bahwa di Indonesia, “korupsi
sudah setua republik”.
Berhubungan dengan topik-topik bahasan ini, saya menanyakan
pada Pak Ansyahrul tentang dua buku yang agaknya masuk dalam minat studinya: “Melawan
Korupsi” tulisan Vishnu Juwono (sejarah politik pemberantasan korupsi di
Indonesia) dan “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional” tulisan Soetandyo Wignjosoebroto
(sejarah pembentukan hukum di Indonesia dari zaman kolonial hingga zaman pasca
kemerdekaan). Pak Ansyahrul tampaknya belum membaca dua buku tersebut, sehingga
saya janjikan dua buku itu kepadanya.
---
Hari ini (18 Agustus 2019), saya bertamu ke rumah Pak
Ansyahrul untuk memberikan dua buku yang sebelumnya saya janjikan tersebut. Waktu masuk
ke dalam rumahnya, saya langsung mengenali buku di atas meja kerja Pak
Ansyahrul yang terbuka halamannya: “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung” tulisan
Sebastiaan Pompe. Ternyata ia sedang menyiapkan materi untuk tiga kegiatan
pelatihan yang akan ia narasumberi pekan ini.
Dalam perjumpaan kedua ini, percakapan lebih banyak diisi
dengan soal-soal pribadi dan keseharian: “Bagaimana pekerjaan di kantor?” “Baik-baik
saja, Pak, Bu,”; “Bagaimana, sudah punya calon?” “Alhamdulillah sudah, Pak, Bu,”;
“Kapan rencananya?” “… (di sini saya hanya sanggup cengar-cengir saja)”.
Selain itu, Pak Ansyahrul menyampaikan bahwa
masalah-masalah yang sekarang kita hadapi di lembaga pemasyarakatan sebenarnya bisa
diatasi jika sistem hakim wasmat (pengawasan dan pengamatan) diterapkan dengan
serius. Ia mengutip sistem Perancis yang hakim-hakimnya memiliki otoritas kuat hingga tahap pengawasan dan pembinaan pemasyarakatan.
Mengenai integritas penegak hukum, saya menafsirkan dari
ucapan-ucapan Pak Ansyahrul bahwa hakim/penegak hukum penting untuk
mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam
pelaksanaan tugas, sehingga konflik kepentingan tersebut bisa dihindari pada
kesempatan pertama.
Satu hal lagi, dan ini mungkin yang paling penting, saat
berbicara tentang prinsip seorang penegak hukum untuk “tidak bisa dibeli”, ia nyatakan
secara serius bahwa “bagi penegak hukum, itu (tidak bisa dibeli) adalah aturan Pasal 1-nya”.
Saya belajar banyak hal dari dua perjumpaan dengan Pak
Ansyahrul ini. Pertama, bahwa penting bagi yuris-penegak hukum untuk terus
menjaga laku hidup intelektual dalam keseharian; banyak membaca, belajar, dan
menulis, tidak hanya pada disiplin ilmu hukum melainkan juga disiplin ilmu
sosial dan ilmu-ilmu lain. Kedua, bahwa nyawa (atau “api yang membuat terus
menyala”) suatu profesi adalah
integritas, dan reputasi yang baik hanya dapat lahir dari integritas yang
dijaga secara kukuh seumur hidup.
Semoga Pak Ansyahrul sekeluarga sehat selalu.